Penulis: Okta Alamsyah — Koordinator AMP Karimun
Karimun – Perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Karimun ke-26 tahun ini digelar dengan sederhana dan tanpa logo resmi. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kesederhanaan benar-benar menjadi niat utama, atau sekadar pembenaran atas minimnya persiapan?
Logo dan tema bukan sekadar pelengkap perayaan, melainkan simbol identitas dan arah perjalanan daerah. Dalam setiap peringatan, logo biasanya erat kaitannya dengan tema yang menggambarkan makna usia dan semangat pembangunan. Di era digitalisasi saat ini, logo berbasis digital bukan hanya bentuk estetika, tetapi juga sarana partisipasi publik. Melalui simbol visual, masyarakat ikut merasa memiliki dan berperan dalam menyemarakkan hari jadi daerahnya, baik di ruang publik maupun di media sosial.
Ketiadaan logo dan tema tahun ini memperlihatkan lemahnya komunikasi simbolik pemerintah daerah terhadap masyarakatnya. Terlebih lagi, tidak adanya edaran mengenai penggunaan baju kurung busana khas Melayu yang selama ini menjadi bagian dari identitas Karimun yang menambah kesan bahwa peringatan hari jadi Karimun namun kali ini kehilangan ruh kebudayaan dan makna reflektifnya.
Jika alasan yang dikemukakan adalah efisiensi atau keterbatasan anggaran, maka hal itu patut dipertanyakan. Secara umum, biaya pembuatan logo berkisar antara Rp100.000 hingga Rp2.000.000, tergantung konsep dan jasa yang digunakan. Ini bukan angka yang mustahil bagi sebuah pemerintah daerah. Terlebih, Karimun memiliki banyak sumber daya manusia kreatif di bidang desain dan visualisasi.
Kesederhanaan seharusnya dimaknai sebagai upaya merendahkan gengsi, bukan meniadakan identitas. Pemerintah Kabupaten Karimun belum layak berbicara tentang kemajuan teknologi dan digitalisasi apabila hal sederhana seperti pembuatan logo digital saja tidak mampu diwujudkan.
